Dalam sebuah pernyataan yang tegas dan penuh ketegasan, Prof Dr KH Ahmad Zahro, seorang tokoh terkemuka di ranah keislaman sekaligus Guru Besar di UIN Sunan Ampel Surabaya, menyampaikan sebuah nasihat penting bagi umat Islam yang kerap mengangkat isu nasab. Dengan nada yang tidak berbelit, beliau menegaskan bahwa klaim nasab Ba ‘Alwi yang sering dikaitkan dengan Nabi Muhammad SAW adalah hal yang tidak berdasar. “Bukan nasab Nabi, bukan demi Allah tidak sambung nasab Nabi,” demikian tegas beliau, menekankan bahwa ketidaksesuaian dalam klaim tersebut bukanlah masalah karena kebencian, melainkan merupakan bentuk keprihatinan mendalam terhadap kesalahpahaman umat terkait garis keturunan yang seharusnya sakral.
Dalam narasi panjang yang dimulai dari awal video, beliau menyampaikan pesan untuk mendengarkan dan menyimak seluruh isi penyampaian tanpa diinterupsi, agar setiap kata yang diucapkannya dapat terserap secara utuh. Menurut Prof Dr Ahmad Zahro, pembahasan mengenai nasab, terutama jika berkaitan dengan garis keturunan Rasulullah SAW, memiliki dampak yang jauh lebih besar daripada sekadar urusan formalitas atau kebanggaan diri. Beliau menyindir bahwa jika seseorang mengaku memiliki nasab yang sah, maka tidak ada larangan untuk “mencium bau surga” sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Nabi—sebuah pernyataan yang membawa makna mendalam mengenai kebaikan dan keberkahan yang harusnya didapatkan oleh yang tulus. Namun, bila klaim tersebut tidak berdasar, maka ia mengandung bahaya tersendiri, yakni sarat dengan kesombongan. “Ngaku nasab Nabi itu pasti ada sebutir pasir atau seberapa kesombongan dalam hati,” ujar beliau dengan lugas, yang sekaligus menjadi peringatan keras kepada mereka yang terlalu percaya diri dengan status keturunan tanpa pembuktian yang jelas.
Dalam penyampaian yang penuh semangat, beliau juga menyampaikan bahwa nasab yang sah seharusnya tidak dipamerkan secara terbuka. Contohnya, banyak tokoh klasik seperti para walisongo dari Maroko, Yordania, atau bahkan wilayah Arab Saudi, yang dalam kesederhanaan mereka memilih untuk tidak menonjolkan garis keturunan mereka, meskipun secara faktual memang memiliki nasab yang kuat. Sikap menahan diri ini seolah menunjukkan bahwa yang lebih utama dalam kehidupan adalah akhlak dan ketakwaan. Hal ini ditegaskan dengan mengutip prinsip “inna akramakumallahi atqakum” yang menekankan bahwa kemuliaan seseorang di sisi Allah bergantung pada keimanan dan ketakwaannya, bukan semata garis keturunan.
Lebih jauh lagi, KH Ahmad Zahro mengkritik reaksi emosional yang sering muncul ketika seseorang mempertanyakan nasab. Ia berargumen bahwa kemarahan dan keengganan untuk menerima kritik mencerminkan kelemahan karakter serta kesombongan, sehingga malah menjerumuskan individu ke dalam jurang kesesatan. Beliau pun dengan tegas menegaskan bahwa kesombongan tersebut merupakan racun yang dapat merusak ikatan persaudaraan umat, dan akibatnya dapat menimbulkan perpecahan serta ketidakselarasan dalam komunitas Islam. Menurut beliau, dengan berpegang pada nilai ketakwaan dan bukan pada suatu label nasab, umat Islam dapat terhindar dari penyelewengan dan fokus pada pencapaian akhir yang lebih hakiki—yakni mendapatkan keridhaan Allah.
Tidak hanya itu, dalam bagian akhir pesannya, Prof Dr Ahmad Zahro mengajak semua pihak untuk merenungkan kembali arti dari label “Ahlul Bait.” Menurutnya, istilah tersebut secara esensial merujuk pada Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Ali, Sayyidah Fatimah, serta kedua putra beliau, Hasan dan Husein. Penekanan ini hadir sebagai cermin atas keaslian dan kesucian peran para tokoh tersebut, sehingga klaim yang menumpuk pada nasab yang tidak terbukti seharusnya dihindari. Beliau mengingatkan bahwa tujuan sejati keislaman adalah untuk memperjuangkan kemurnian ajaran dan menjaga persatuan umat, bukan justru menimbulkan perpecahan karena garis keturunan semata.
Secara keseluruhan, penyampaian Prof Dr Ahmad Zahro memiliki pesan ganda yang mendalam: pertama, untuk berhenti mengedepankan klaim nasab yang tidak terbukti dan kedua, untuk mengedepankan nilai-nilai ketakwaan dan kerendahan hati. Pesan ini disampaikan dengan kejujuran yang tak terbantahkan, sebuah seruan agar setiap individu merefleksikan kembali makna sejati dari identitas keislaman. Di tengah dinamika kehidupan umat yang kerap kali terjebak dalam label dan identitas semu, ucapan beliau menjadi sebuah pengingat keras dan ajakan untuk kembali ke jalan yang utama dalam Islam, yakni memperbaiki diri, menumbuhkan ketakwaan, dan menjaga kesatuan umat dalam menghadapi setiap ujian kehidupan. Semoga pesan ini menjadi penyegar pikiran dan bahan renungan bagi semua, termasuk sosok-sosok yang berpengaruh seperti Rizieq, agar dalam perjalanan mereka senantiasa mengutamakan keikhlasan dan amal shaleh atas segala-galanya.