Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm
Segala puji bagi Allah yang berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia:
“Jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti keinginannya tanpa mendapat petunjuk dari Allah? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. Al-Qashash: 50).
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada penghulu Arab dan non-Arab, junjungan kami Nabi Muhammad, beserta keluarga dan sahabatnya. Amma ba’du.
Berkata Imaduddin Utsman Al-Bantani:
Ini adalah kitab jawaban untuk Dr. Muhammad bin Abu Bakar Bazdib Asy-Syabāmi tentang pernyataannya dalam pengantar kitab “Izhār al-Ḥaqīqah al-Jaliyyah” (Menyingkap Kebenaran yang Nyata) sebagai tanggapan atas klaim “Kasyf al-Faḍīḥah al-‘Ilmiyyah fī Tārīkh wa Nasab Ba‘alawī” (Mengungkap Aib Ilmiah dalam Sejarah dan Nasab Ba’alawi) yang disebut “Kasyf as-Sitār ‘an ad-Dalā’il wal-Ātsār” (Mengangkat Tabir Bukti dan Jejak) karya Ahmad bin ‘Awad Ba‘alawi. Kitab ini ditulis sebagai jawaban atas kitabku “Kasyf al-Faḍīḥah al-‘Ilmiyyah fī Tārīkh wa Nasab Ba‘alawī” (yang membahas kepalsuan nasab Ba’alawi hingga Nabi ﷺ).
Kitab Al-Izhār ditulis pada 6 Muharram 1446 H. Aku telah menjawabnya pada 17 Muharram 1446 H dalam bahasa Indonesia dan merasa cukup dengan itu karena tidak ada bukti baru. Semua isinya telah dikeluarkan oleh pendukung Ba’alawi di Indonesia, dan aku telah membantah serta mematahkan mereka tanpa celah untuk membalas. Namun, setahun kemudian, terdengar kabar bahwa kitab itu dicetak pada tahun ini (2025 M). Seorang temanku mengirimkan filenya pada 14 Juli 2025 M, lalu hatiku tergerak untuk menulis jawaban dalam bahasa Arab. Ketika kulihat dalam cetakan itu bahwa Dr. Muhammad bin Abu Bakar Bazdib menulis pengantarnya, kususun jawaban khusus untuknya karena lebih layak didahulukan. Kujadikan karya terpisah untuk memudahkan para penuntut ilmu mempelajarinya.
Kuberi judul kitab ini:
“Al-Jawāb An-Najīb min ‘Imāduddīn ‘Utsmān al-Bantanī ilā ad-Duktūr Muḥammad bin Abī Bakr Bādzīb ḥawla Nasab Bā‘alawī al-Bāṭil al-Gharīb”
(Jawaban Terhormat dari Imaduddin Utsman Al-Bantani untuk Doktor Muhammad bin Abu Bakar Bazdib tentang Nasab Ba’alawi yang Batil dan Aneh).
Aku memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Pemberi Nikmat agar menjadikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Āmīn. Semoga Allah melimpahkan shalawat kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarga dan sahabatnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Pernyataan Dr. Muhammad bin Abu Bakar Bazdib:
(Kitab ini adalah bantahan terhadap sebagian orang yang lancang di zaman kita, yang mencoba menutupi matahari dengan saringan, berusaha menyembunyikan kebenaran, memalsukan sejarah, dan menyebarkan kesesatan di depan kelompok orang yang hanya mengetahui apa yang mereka lihat, dan hanya percaya apa yang disampaikan kepada mereka—meskipun batil—karena pengaruh media terhadap pikiran serta lemahnya kesadaran dan pemahaman mereka. Terkadang penerima mengetahui kebenaran, tetapi karena kepentingan pribadi, ia mendukung kebatilan dengan anggapan itu memenuhi tujuannya, tanpa sadar bahwa dukungannya itu menjerumuskannya ke dalam kehinaan, dan kelak ia akan menyesal).
Tanggapan Imaduddin Utsman Al-Bantani:
Apa yang dikatakan Bazdib bahwa aku termasuk orang yang “mencoba menutupi matahari dengan saringan” adalah kebalikan dari apa yang kulakukan: mengungkap kebobrokan nasab dan sejarah Ba’alawi! Justru yang melakukan itu adalah Bazdib dan semua pendukung nasab Ba’alawi tanpa ilmu, petunjuk, atau kitab yang jelas. Kepalsuan nasab Ba’alawi bagaikan matahari yang tak bisa ditutupi saringan pemalsuan! Mereka ingin sejarah masa lampau sesuai hawa nafsu pena mereka, meski bertentangan dengan catatan sejarawan kuno. Namun, kebenaran tak mungkin disembunyikan. Ketika mereka mencoba memalsukan sejarah, kebenaran terbuka tanpa bisa dihalangi.
Bazdib menyebut: “Terkadang penerima mengetahui kebenaran”—ini menunjukkan ia tahu bahwa nasab Ba’alawi baru muncul pada abad ke-9 H, tanpa satu pun kitab nasab sebelumnya yang menyebut mereka. Namun, karena kepentingan pribadi, ia mendukung kebatilan dan mengabaikan penyesalan yang akan datang. Ya, Bazdib akan menyesal kelak. Semua yang membenarkan klaim dusta Ba’alawi akan menyesal. Ini pasti. Allah berfirman:
“Seandainya engkau (Nabi Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, mereka berkata, “Seandainya kami dikembalikan (ke dunia), tentu kami tidak akan mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, dan kami menjadi orang-orang mukmin.” (QS. Al-An‘ām: 27).
Pernyataan Bazdib:
(Kitab kami ini membantah seorang lelaki (Bantani), dinisbatkan ke Banten, salah satu wilayah di Pulau Jawa Besar yang termasyhur di era awal pemerintahan Islam… sebagaimana terperinci dalam kitab “Tārīkh Banten” karya Al-‘Allāmah As-Saqqāf).
Tanggapan Imaduddin al-Bantani:
Ya, aku lelaki Bantani dari ayah dan ibu Banten. Banten memang termasyhur dalam sejarah, tetapi jika kau baca sejarahnya dari kitab Ba’alawi seperti Tārīkh Banten karya Ahmad bin Abdullah As-Saqqāf Ba’alawi (w. 1369 H/1949 M), kau akan dapati sejarah yang bengkok. Kebiasaan mereka adalah menulis sejarah suatu daerah lalu menyelipkan kepentingan pribadi.
Pernyataan Bazdib:
(Apakah sejarah lupa pada para Syarif dari Āl ‘Aẓmat Khān yang datang dari India, berkembang di Kepulauan Nusantara, dan menikahi raja-raja?… mereka akan temukan bahwa leluhur mereka bersatu dengan para Syarif dari keluarga Abd al-Malik bin ‘Alawī (paman Al-Faqīh) yang asalnya dari Tarim, Hadramaut, datang sebagai dai penakluk yang menyebarkan kebaikan, perdamaian, dan agama yang lurus).
Tanggapan Imaduddin al-Bantani:
Tidak ada bukti bahwa ulama dan wali yang menyebarkan Islam di Indonesia pada abad ke-9 H berasal dari keluarga Ba’alawi. Misalnya, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bukan dari Ba’alawi—tidak satu pun bukti menunjukkan itu. Klaim bahwa keluarganya bernama “Āl ‘Aẓmat Khān” hanya ada dalam kitab Ba’alawi seperti karya Ahmad bin Abdullah As-Saqqāf (w. 1949 M) dan Sālim bin Jindān (w. 1969 M). Keduanya termasuk yang pertama kali menulis bahwa Syarif Hidayatullah dari Āl ‘Aẓmat Khān Ba’alawi—tanpa ilmu atau dasar kitab yang sah, bertentangan dengan kitab-kitab lebih tua.
Sejarawan Banten, Prof. Dr. Hussein Jayadiningrat, menulis buku Tinjauan Kritis Sejarah Banten (1919 M), menyebut enam silsilah Syarif Hidayatullah yang saling berbeda, tetapi semua merujuk ke Mūsā al-Kāẓim, tidak sekali pun menyebut Ba’alawi (hlm. 17 & 177).
Syaikh Abdullah bin Abdul Qahhar Al-Bantani menulis kitab Fatḥ al-Mulūk (1769 M), menyatakan bahwa Sultan Zain al-‘Āsyiqīn bin Sultan Zain al-‘Ārifīn Al-Bantani dari Bani Hāsyim, bukan dari Āl ‘Aẓmat Khān Ba’alawi. Naskah manuskripnya tersimpan di Arsip Nasional RI dengan kode A.111.
Ada manuskrip Jawa pasca-1970 M yang diklaim ditulis abad ke-17–18 M, menyebut nasab Syarif Hidayatullah ke ‘Ubaidillāh, tetapi sebagian terbukti palsu (ditulis di kertas baru), dan sebagian lagi tak jelas sumbernya.
Yang dilakukan Ba’alawi adalah mencuri sejarah orang lain. Allah berfirman:
“Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira dengan apa (perbuatan buruk) yang telah mereka kerjakan dan suka dipuji atas perbuatan (yang mereka anggap baik) yang tidak mereka lakukan, kamu jangan sekali-kali mengira bahwa mereka akan lolos dari azab. Mereka akan mendapat azab yang sangat pedih.” (QS. Āli ‘Imrān: 188).
Pernyataan Bazdib:
(Dari Banten, tersebarlah cahaya seorang ulama besar, pejuang melawan penjajah Belanda yang menduduki tanahnya, hingga diasingkan ke Mekkah: Syaikh Al-‘Allāmah Muhammad Nawawi bin Umar Al-Bantani (w. 1316 H), penulis karya-karya masyhur, yang nasabnya bersambung ke Sultan Hasanuddin bin Syarif Hidayatullah hingga nasab ‘Alawī).
Tanggapan Imaduddin al-Bantani:
Banten memang negeri berkah, dikenal sejak lama dengan ulamanya yang mendalam ilmunya. Putra Banten termasuk yang pertama pergi ke Mekkah untuk belajar dari kalangan Indonesia. Pada 1044 H/1634 M, rombongan putra Banten—termasuk Abul Ma‘ālī bin Sultan Abul Mafākhir—belajar pada ulama Mekkah seperti Syaikh Ibnu ‘Allān Al-Makki (w. 1057 H), penulis Dalīl al-Fāliḥīn (syarah Riyāḍ aṣ-Ṣāliḥīn). Ibnu ‘Allān menulis kitab khusus untuk Sultan Abul Mafākhir dan masyarakat Banten, seperti:
- Syarḥ Naṣīḥat al-Mulūk
- Syarḥ ad-Durrah al-Fākhirah
- Al-Mawāhib ar-Rabbāniyyah li As’ilat al-Jāwiyyah
- Raf‘ al-Ḥijāb.
Beberapa manuskripnya masih tersimpan di Arsip Nasional RI.
Ulama lain juga menulis kitab untuk Sultan Banten, seperti:
- Nuruddin Ar-Raniri (w. 1658 M): Tawḍīḥ al-Luma‘ān fī Takfīr man Qāla bi-Khalq al-Qur’ān.
- Ibrahim Al-Kurani Al-Madani (w. 1690 M): Kasyf al-Mastūr fī Jawāb Su’āl ‘Abd asy-Syakūr (untuk Sayid Abdul Syakur bin Abdul Karim Al-Bantani).
- Yusuf Al-Makassari (w. 1699 M): Zubdat al-Asrār dan Al-Ḥabl al-Warīd li-Sa‘ādat al-Murīd (untuk Sultan Abdul Fattah Al-Bantani).
- Abdul Bashir Adh-Dhahir (w. 1733 M): Muqaddimah al-Fawā’id allatī lā Budda min al-‘Aqā’id (untuk Sayid Abdul Qadir Al-Bantani).
- Syaikh Batat Al-Bantani dan rombongan dikirim Sultan Abdul Fattah ke Mekkah (1061 H) untuk belajar. Sultan Abdul Qahhar dan rombongan juga pergi (1086 H).
Ulama Banten yang menulis kitab bermanfaat dalam bahasa Arab:
- Syaikh Abdullah bin Abdul Qahhar Al-Bantani
- Syaikh Nawawi Al-Bantani (“Sultan Ulama Jawa”)
- Syaikh Abdul Karim bin Bukhari Al-Bantani
- Syaikh Abdul Haqq bin Abdul Hannan Al-Bantani
- Syaikh Nawawi bin Muhammad Ali Al-Mandawi Al-Bantani
- Dan puluhan lainnya (semoga Allah meridhai mereka).
Tokoh Banten ternama di bidang ilmu, politik, dan lainnya:
- Prof. Dr. Ma’ruf Amin (Wakil Presiden RI 2019–2024)
- Syafruddin Prawiranegara (Ketua PDRI/Pemerintah Darurat RI 1948)
- Syaikh Asnawi bin Abdurrahman Al-Bantani (Murshid Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah)
- Syaikh Astari bin Ishaq Al-Bantani (Wali Allah)
- Prof. Dr. Hussein Jayadiningrat (Guru Besar pertama Indonesia)
- Taufiqurrahman Ruki (Ketua KPK 2015)
- Hassan Wirajuda (Menlu RI 2001–2009)
- Dan puluhan tokoh lain (semoga Allah menjaga mereka).
Pernyataan Bazdib:
(Jika kita tahu ini, kita sangat heran melihat seorang (Bantani) di zaman ini menyerukan perpecahan, mengobarkan fitnah tidur, berkoar di media dan TV, lalu menulis kitab untuk mendukung fitnahnya guna mencela nasab kaum mulia: ahli agama, ilmu, takwa, dan kesalehan—dengan klaim bahwa para Sayid Ba’alawi, yang menyatu dengan masyarakat Jawa melalui darah, kekerabatan, dan pernikahan, adalah pendusta (ḥāsyāhumullāh)! Mereka dituduh memakai jubah syarif untuk kepentingan duniawi… dst.)
Tanggapan Imaduddin al-Bantani:
Wahai saudaraku! Ucapanmu seperti ucapan ‘Utbah bin Rabī‘ah (pemuka Quraisy kafir) kepada Nabi ﷺ: “Kau datangi kaummu dengan perkara besar yang memecah belah mereka.”
Apakah menyampaikan kebenaran disebut “memecah belah dan mengobarkan fitnah”? Aku tahu dengan pasti—melalui bukti ilmiah—bahwa Ba’alawi bukan keturunan Rasulullah ﷺ. Bisakah kau tunjukkan:
- Satu kitab nasab sebelum abad ke-6 H (bahkan ke-9 H) yang menyebut ‘Ubaid sebagai anak Ahmad bin ‘Īsā?
- Satu kitab sebelum abad ke-9 H yang menyebut Ahmad bin ‘Īsā hijrah ke Hadramaut?
- Bukti uji DNA Ba’alawi dari subkelompok G beralih ke J?
Kau tak akan mampu! Lalu apa dalilmu meyakini mereka dari kalangan Hāsyimī? Cukupkah dengan klaim Ali As-Sakrān (abad ke-9 H), padahal Ahmad bin ‘Īsā hidup di abad ke-3 H? Kitab-kitab nasab abad ke-5–9 H membuktikan Ahmad bin ‘Īsā tidak punya anak bernama ‘Ubaid! Pernahkah kau baca Asy-Syajarah al-Mubārakah karya Fakhruddin Ar-Rāzī (w. 606 H)? Ia menegaskan: Anak Ahmad bin ‘Īsā yang punya keturunan hanya tiga: Muhammad, Ali, dan Husain!.
Jika benar kau dari keluarga Bazdib yang disebut dalam kitab As-Sulūk karya Al-Jundī (w. 732 H), maka keluargamu lebih mulia dari Ba’alawi! Keluargamu dikenal dengan ilmu dan hadis, sementara keluarga Ba’alawi tidak. “Rumah Abi ‘Alawi” dalam As-Sulūk bukan keluarga Ba’alawi (Abdurrahman As-Saqqāf), melainkan keluarga baru tanpa kaitan. Sampai kapan kau jadi pelayan keluarga yang sebelumnya lebih rendah dari keluargamu? Lihat As-Sulūk yang menyatakan:
- “Ibnu Abi Dzi’b meriwayatkan hadis dari Al-Maqburī, dari Ibnu Abi Syuraih Al-Ka‘bī.” (Jilid 1, hlm. 144).
- “Muhammad bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abi Dzi’b adalah ahli fikih dan sastra, menggubah syair At-Tanbīh, dan punya banyak qasidah.” (Jilid 1, hlm. 463).
Jika kau ingin tahu sejarah sejati keluarga Bazdib—apakah Bakrī atau Azdī—jangan percaya klaim Ba’alawi (Ahmad bin Hasan Al-‘Aṭṭas, Abdurrahman bin Ubaidillah As-Saqqāf, atau Sālim bin Jindān). Mereka hanya menulis untuk kepentingan pribadi. Kembalilah ke referensi abad ke-8 H atau sebelumnya!.
Kusarankan pada semua keluarga mulia di Tarim dan Hadramaut: Tulislah sejarahmu tanpa bergantung pada kitab Ba’alawi! Kau akan temukan kebenaran dan kebanggaan untuk keluargamu sendiri.
Pernyataan Bazdib:
(Jika ini bukan fitnah, lalu apa? Jika kebatilan yang ingin disebarkan Kiai Imad Al-Bantani melalui ucapan dan ceramahnya bukanlah inti keinginan penjajah dan kekuatan jahat di dunia, lalu apa kebatilan itu?)
Tanggapan Imaduddin al-Bantani:
Jika mengaku syarif dari keluarga hina seperti Ba’alawi bukan fitnah, lalu apa? Apa yang tersisa dari kehinaan mereka? Kita saksikan:
- Sebagian mereka meminta-minta uang.
- Sebagian minum khamr.
- Sebagian berzina.
- Sebagian melakukan homoseksualitas (liwaṭ).
- Sebagian tidak shalat.
- Sebagian murtad dari Islam (seperti Thomas As-Saqqāf).
Jika ada yang kebetulan ulama, mereka menyombongkan nasab dan merendahkan orang lain. Dari mulut kotor mereka, keluar cacian pada ulama, penguasa, dan khurafat batil:
- “Isi nasab mereka mi‘raj ke langit.”
- “Mereka bisa terbang di atas atap.”
- “Mereka memadamkan api.”
Mereka harus menghentikan klaim dusta ini karena itu menghina Fāṭimah Az-Zahrā’ dan ayahnya ﷺ.
Kemurtadan Ba’alawi (seperti Thomas As-Saqqāf) bukti nyata mereka bukan keturunan Nabi ﷺ. Ibnu Hajar Al-Haytami berkata:
“Aku hampir memastikan bahwa hakikat kekufuran tidak terjadi pada orang yang nasabnya bersambung sah ke putri mulia (Fāṭimah) itu—ḥāsyāhumullāh.” (Al-Fatāwā al-Ḥadītsiyyah, hlm. 199).
Zina dan liwaṭ dari mereka? Beliau juga berkata:
“Sebagian ulama menolak kemungkinan zina atau liwaṭ terjadi dari orang yang diketahui kemuliaannya, apalagi kekufuran!” (ibid.).
Ucapanmu, wahai Bazdib, bahwa ucapanku “sejalan dengan keinginan penjajah” adalah analogi batil! Apa hubungan antara kepalsuan nasab Ba’alawi dan keinginan penjajah? Apakah maksudmu: “Jika nasab Ba’alawi terbongkar kepalsuannya, penjajah akan menduduki Indonesia”? Sungguh ucapan bodoh! Penjajah mana yang menghentikan penjajahannya karena nasab Ba’alawi? Kekuatan apa yang dimiliki Ba’alawi sampai ditakuti penjajah? Mungkin kau dengar dari mereka cerita-cerita berlebihan lalu kau percayai.
Kau tak tahu sejarah Ba’alawi di Indonesia! Mereka datang pada abad ke-19 M saat Belanda menjajah Nusantara. Mereka acuh pada perjuangan kemerdekaan Indonesia—bahkan sebagian menjadi kaki tangan penjajah dan mata-mata!
Pernyataan Bazdib:
(Kami tahu terompet yang ditiup setan perpecahan dan pengobar fitnah hanyalah jeritan di lembah kosong. Kami harap suaranya tak panjang dan dibungkam oleh para cendekiawan dan ulama bijak di negeri tercinta itu. Kami tahu kebangkitan ulama seperti Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dan kawan-kawannya adalah kebangkitan keagamaan-ilmiah yang teguh, dikelola orang bijak yang menumpas fitnah dan tak biarkan pengobar perpecahan merusak umat dan tanah air mereka.)
Tanggapan Imaduddin al-Bantani:
Ya Allah, satukan hati anak bangsa Indonesia dan jauhkan dari setan perpecahan dan pengobar fitnah! Allah tahu siapa pengobar fitnah sejati di negeri ini dan siapa pembawa kebenaran.
Apakah pengobar fitnah itu:
- Orang yang mengaku syarif tanpa bukti (seperti Ba’alawi), atau
- Orang yang membongkar kepalsuannya dengan bukti jelas (seperti kami)?
Kebenaran yang hari ini terbang dengan angin, besok bisa mencabut pasak kebatilan. Jika kau ingin suara kebenaran ini berhenti, nasihatilah Ba’alawi untuk menghentikan klaim dusta! Katakan: “Kemuliaan dalam Islam adalah takwa, bukan nasab—apalagi nasab palsu!”
Bayangkan kau di acara pernikahan: Seorang ayah hendak menikahkan anak perempuannya, padahal kau tahu itu anak angkat, bukan kandungnya. Jika kau larang, fitnah bisa terjadi. Jika kau diam, pernikahan itu batil. Apa yang kau lakukan?
Jangan jadi pengadu domba dengan ucap “dibungkam oleh para cendekiawan”! Yang berbicara tentang kepalsuan nasab Ba’alawi adalah cendekiawan asli Indonesia. Mayoritas mereka telah menerima kebenaran ini.
- Mayoritas ulama pesantren.
- Mayoritas dosen dan profesor di universitas.
Mereka sepakat: Ba’alawi bukan keturunan Nabi ﷺ.
Mengenai “kebangkitan ulama” (Nahdlatul Ulama/NU): Ya, NU adalah ruh Ahlus Sunnah wal Jamaah di Indonesia. Cahayanya bersumber dari hikmah luhur, jalan lurus, dan warisan para wali. Ia taman yang mencampurkan agama para ateis, dan benteng melawan fitnah. Allah jadikan NU pertengahan di antara umat, sebagaimana Islam pertengahan di antara bangsa-bangsa.
Pendiri NU berkata:
“NU adalah perkumpulan keadilan, amanah, perbaikan, dan kebaikan. Ia manis di mulut orang baik, dan duri di tenggorokan orang jahat. Wajib bagi kalian saling menasihati, bekerja sama dengan nasihat yang menyembuhkan, dakwah yang mempersatukan, dan argumen yang memutuskan.”
Aku bagian dari organisasi mulia ini! Pernah jadi Ketua NU wilayahku, anggota Syuriah NU Banten, anggota Lajnah Fatwa PWNU, dan Ketua Rabithah Ma‘āhid Islamiyyah NU Banten. Aku belajar dari ulama NU besar:
- Syaikh Muhammad Syanwani Al-Bantani (penulis Kalām an-Nuḥāh).
- Syaikh Hasuri bin Thahir Al-Bantani (Rais Syuriah NU Serang).
- Syaikh Marqawi bin Abdul Karim Al-Bantani (Wakil Rais Syuriah NU Banten).
- Syaikh Mufti Asnawi Al-Bantani (penulis Amtsilah al-I‘rāb).
Bagaimana kau menyuruh ulama NU membela nasab Ba’alawi yang jelas batil? Apakah kau kira ulama NU hanya pelayan Ba’alawi? Tidak! Mereka santun pada semua orang—muslim atau non-muslim—kecuali pada kekufuran yang terang. Jika kau lihat sebagian mereka membela Ba’alawi, itu bukan membela nasabnya, tapi membela kemanusiaan.
Pernyataan Bazdib:
(Aku teliti gerakan Kiai Imad sejak meluas di Ramadhan 1444 H/Maret 2023 M. Banyak orang dari Jakarta, Cirebon, Surabaya menghubungiku untuk mengumpulkan teks-teks yang membantahnya. Para peneliti muda menulis risalah, dan banyak yang berbicara di majelis dan TV—semua itu baik. Tapi ini bukan sekadar perbedaan ilmiah, melainkan punya dimensi politik dan penjajahan yang tersembunyi.)
Tanggapan Imaduddin al-Bantani:
Aku juga teliti tulisan Dr. Muhammad bin Abi Bakr Bazdib. Kuharap ia termasuk yang menyelamatkan sejarah Yaman dari distorsi Ba’alawi sejak abad ke-9 H! Kuhimbau ia duduk dengan rendah hati, membaca kitab sejarah/nasab abad ke-3–8 H (tanpa kitab Ba’alawi), lalu lihat betapa indah sejarah Yaman dan kokohnya ulamanya dalam fikih/hadis. Bandingkan dengan sejarah versi Ba’alawi yang menjadikan semua keluarga mulia seolah “hamba dan pecinta Ba’alawi”. Sayang, keturunannya terjebak dalam jaring sejarah ini. Bangun dari tidurmu, wahai Bazdib!
Kau sebut banyak orang Indonesia (kuduga dari Ba’alawi) menghubungimu untuk membantahku—ini bukti mereka tak mampu menjawab! Padahal, orang sepertimu layak kujawab karena paham metodologi sejarah. Tapi kau butuh kejujuran, bukan pembenaran. Mengapa kau tidak membantah?
- Jika kau tahu tak ada bukti nasab Ba’alawi, di mana tanggung jawab ilmiahmu?
- Jika kau masih mencari bukti, itu sia-sia—kecuali kau buat kitab palsu seperti mereka!
Pernyataan Bazdib:
(Di antara yang bergerak memadamkan fitnah: Sayid Dr. Ali Hasan Al-Bahr (anggota Rabithah Alawiyah & NU, penasihat presiden), Kiai Yahya Al-Jazuli, Ustadz Muhammad Hanif Al-‘Aṭṭas (dengan diskusi panjang), dan peneliti nasab Amjad Abu Fathim Ba’alawi.)
Tanggapan Imaduddin al-Bantani:
Kau sebut Ali Hasan Al-Bahr “penasihat presiden”? Salah! Ia hanya penerjemah presiden untuk bahasa Arab (misal saat bertemu Syaikh Al-Azhar, 2024 M). Saat presiden bertemu Putra Mahkota Saudi Muhammad bin Salman (2025 M), mereka berbicara Inggris—tidak butuh penerjemah. Jika ia penasihat, tentu ikut dalam pertemuan itu.
Nama-nama lain yang kau sebut telah “membantahku”? Ya, tapi mereka tak bisa menunjukkan bukti ilmiah sahih tentang nasab Ba’alawi. Amjad Abu Fathim bahkan lemah metodologi sejarahnya. Ia mengutip Al-‘Ubaidīlī dalam Ar-Rawḍ al-Jalī tanpa tahu cara verifikasi validitas nukilan—padahal Al-‘Ubaidīlī tidak menyebut itu dalam kitab aslinya (Tahdzīb al-Ansāb), dan Ar-Rawḍ al-Jalī (klaim karya Az-Zabīdī) adalah kitab palsu!
Pernyataan Bazdib:
(Di tangan kita kitab hebat ini. Ahmad bin ‘Awad Ba’alawi mengumpulkan teks langka dari manuskrip dan kitab sejarah/ansab yang membantah klaim Kiai Imad dan menampakkan kebenaran.)
Tanggapan Imaduddin al-Bantani:
Dulu aku berharap Bazdib jadi mitra diskusi seimbang. Tapi setelah baca pernyataanmu, aku pesimis—mungkin ia tak paham metode penelitian sejarah!
- Pernyataan abad ke-4 H yang dikutip di kitab abad ke-9 H bukan bukti untuk abad ke-4, melainkan abad ke-9!
- Kitab Ahmad bin ‘Awad penuh dengan model begitu—tak satu pun bukti dari kitab nasab abad ke-4, 5, atau 6 H yang menyebut:
- ‘Ubaid anak Ahmad bin ‘Īsā.
- Ahmad hijrah dari Basra ke Yaman.
- Makamnya di sana.
Semua itu baru muncul abad ke-9 H! Dari mana kau simpulkan kitabnya “membantahku”? Tidak ada!
Kau sebut ucapanku “kebohongan dan klaim”. Itu terbalik! Setiap ucapanku punya bukti. Sementara kitab seperti Al-Barqah asy-Syīqah karya Ali bin Abi Bakr As-Sakrān (Ba’alawi) lebih layak disebut “kebohongan dan klaim”. Contoh: Ia klaim Ibnu Samurah membuktikan nasab Ba’alawi, padahal tak ada dalam kitabnya—ini dusta nyata!
Pernyataan Bazdib:
(“Bencana terkadang membawa manfaat.” Tanpa kampanye gila ini, kita tak akan melihat penelitian indah dan bermanfaat ini. Seperti kata penyair: “Andai Allah ingin menyebarkan keutamaan yang tersembunyi, Dia izinkan lidah pendengki mengungkitnya. Andai api tak menyala di dekat kayu gaharu, harumnya tak akan dikenal.”)
Tanggapan Imaduddin al-Bantani:
Ya, bencana bisa bermanfaat. Tanpa akhlak buruk Ba’alawi, kepalsuan nasab mereka tak akan terbongkar. Seorang penyair berkata:
“Kebohongan tak bisa menyembunyikan kebenaran, hanya menunda pengungkapannya. Allah mengirimnya padamu tanpa usahamu. Jangan coba sembunyikan kebenaran—Allah bersumpah: Pendusta akan terbongkar! Alat terbaik membongkar dusta adalah waktu. Dusta pendek meski panjang, kebenaran panjang tak berujung.”
Pernyataan Bazdib:
(Lihatlah keutamaan mereka yang tersebar, keharuman mereka yang semerbak, bendera mereka yang berkibar, majelis dan lembaga mereka yang ramai. Semoga Allah tak memberi kehidupan pada pengobar fitnah, dan tak berkahi yang menyalakan api perpecahan. Selamat datang para dai penyeru cinta dan kedamaian!)
Tanggapan Imaduddin al-Bantani:
Lihatlah mereka:
- Keburukan mereka mencolok.
- “Bau” mereka menusuk.
- Orang-orang bejad mereka terkenal.
- Majelis mereka penuh cacian.
- Lembaga mereka sarat khurafat.
Semoga Allah musnahkan semua pendusta yang mengaku keturunan Nabi! Tak ada berkah bagi penyusup nasab Fāṭimah Az-Zahrā’ dan para pendukungnya. Selamat datang kebenaran yang telah jelas:
- Petunjuk dari kesesatan.
- Berharga dari sampah.
- Sehat dari sakit.
- Betapa bahagianya Fāṭimah Az-Zahrā’—ternyata keturunannya (Ba’alawi) palsu!
Pernyataan Bazdib:
(Kitab ini punya dua pembahasan utama:
- Membantah klaim Al-Bantani bahwa Sayid Ahmad bin ‘Īsā tidak hijrah ke Hadramaut karena tak ada bukti sejarah.
- Menguraikan kitab, manuskrip, dan ijazah yang menyebut nasab syarif mereka—termasuk ijazah dari Sayid Ali bin Jadīd (w. 620 H) dan catatan sanad hadis ulama Yaman.)
Tanggapan Imaduddin al-Bantani:
Klaim “Ahmad bin ‘Īsā tak hijrah ke Yaman” bukan sangkaan, tapi kepastian ilmiah! Bisakah kau tunjukkan satu bukti dari kitab sejarah/nasab sebelum abad ke-9 H yang menyebut hijrahnya? Tidak! Kecuali kau buat kitab palsu.
Semua ijazah itu bukti untuk nasab baru Ahmad bin ‘Īsā yang telah terbukti palsu, bukan bukti nasab Ba’alawi (keluarga Abdurrahman As-Saqqāf). Tak satu pun bukti menyebut Jadīd punya saudara bernama ‘Alawī. Tak ada hubungan sama sekali!
Pernyataan Bazdib:
(Kitab ini juga memuat:
- Bantahan bahwa “Ahmad bin ‘Īsā Al-‘Alawi” dalam sanad Syiah adalah Ahmad Al-Muhājir.
- Bantahan bahwa Asy-Syajarah al-Mubārakah karya Fakhruddin Ar-Rāzī.
- Pembahasan wilayah tempat tinggal para sayid.
- Kisah “Al-Khifārah” (penjagaan gaib) Muhammad bin Ali Ba’alawi.)
Tanggapan Imaduddin al-Bantani:
Benar bahwa “Ahmad bin ‘Īsā Al-‘Alawi” dalam sanad Syiah bukan Ahmad Al-Muhājir!
- Ahmad bin ‘Īsā Al-‘Alawi adalah tokoh sejarah: Ahmad bin ‘Īsā bin Muhammad An-Naqīb Al-Ashīl (dari Madinah), punya tiga anak: Muhammad, Ali, Husain—bukan ‘Ubaid, Ubaidillah, atau Abdullah!
- “Ahmad Al-Muhājir” adalah tokoh fiktif ciptaan keluarga Abdurrahman As-Saqqāf (abad ke-9 H), yang diklaim punya anak bernama ‘Ubaid, lalu cucu bernama ‘Alawī—tanpa bukti!
Keraguan Ahmad bin ‘Awad bahwa Asy-Syajarah al-Mubārakah bukan karya Ar-Rāzī adalah keraguan tanpa dasar! Dalam manuskripnya tertulis itu karyanya. Kita tak boleh menuduh kitab ini dipalsukan karena:
- Penemunya tak punya kepentingan pribadi pada isinya.
- Penyalinnya juga tak punya kepentingan.
Bandingkan dengan kitab seperti Banāt al-Imām:
- “Penemunya” Yusuf Jamal al-Lail (Ba’alawi) punya kepentingan pribadi karena kitab itu menyebut nasab Ba’alawi.
- Setelah klaim “menemukan manuskrip”, ia “meneliti” dan mencetaknya.
- Saat manuskripnya diminta, “hilang”.
Kitab Tārīkh Syanbal dan Al-Bahā’ juga “ditemukan” oleh Abdullah Muhammad Al-Habsyi, lalu “hilang” setelah dicetak. Ini jelas kebohongan! Celakalah setiap pendusta besar!
Pernyataan Bazdib:
(Akhirnya, inilah kitab di tangan pembaca mulia. Telusurilah, renungkan, bacalah baris-barisnya, saksikan cahayanya, dalami kebenaran dalam halamannya, dan “celak”lah matamu dengan manuskrip langka yang ditemukan penulis!)
Tanggapan Imaduddin al-Bantani:
Akhirnya, kitab karya Ahmad bin ‘Awad Ba’alawi ini—wahai para pembaca—berusaha menutupi matahari buktiku dengan saringan pengaburan. Telusuri, renungkan, baca baris-barisnya: Tak akan kau temukan satu pun pembelaan untuk nasab Ba’alawi!
Nasab mereka:
- Batil, tak terbela.
- Yang meyakini kebenarannya: tak diridai.
- Yang memusuhi pembongkar kebatilannya: tak mendapat petunjuk.
Siapa pun yang mencintai Nabi ﷺ dan keluarganya, wajib menjaga nasabnya dari penyusup!
Pernyataan Bazdib:
(Kami harap kitab ini dicetak dengan format indah yang menyenangkan mata. Semoga Allah melimpahkan shalawat pada penutup para nabi, bulan purnama, junjungan kami Muhammad pemimpin umat manusia, beserta keluarga dan sahabatnya. Akhir doa kami: segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
Ditulis oleh Muhammad Abu Bakr Bazdib, Maghrib Rabu 8 Rajab 1446 H / 8 Januari 2025 M.)
Tanggapan Imaduddin al-Bantani:
Nilai kitab bukan pada format indah, tapi pada bukti yang memutuskan! Orang memilih uang lusuh Rp100.000 daripada uang baru Rp1.000—meski indah dipandang.
Semoga Allah melimpahkan shalawat kepada pemimpin Bani ‘Adnān, junjungan kami Nabi Muhammad, beserta keluarga dan sahabatnya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
Ditulis oleh Imaduddin Utsman Al-Bantani Al-Jawi Asy-Syafi‘i, Dhuha Selasa 27 Muharram 1447 H / 22 Juli 2025 M.
Selesai dengan memuji Allah.
Sumber: اَلجَوَابُ النَجِيبُ من عمادالدين عثمان البنتني للدكتور محمد بن أبي بكر باذيب حول نسب باعلوي الباطل الغريب – newsky.id