Walisongobangkit.com — Dalam setiap abad, umat Islam menanti—dan sejarah selalu menghadirkan—seorang mujadid, pembaharu, penjernih kebenaran yang terkeruhkan oleh zaman. Di tengah gelapnya disinformasi dan kabut tebal glorifikasi palsu atas nama agama, muncullah sosok langka: KH Imaduddin Utsman al-Bantani. Ia tidak datang membawa pedang, tapi ilmunya bisa menebas kebohongan yang telah berakar ratusan tahun. Ia tak menggenggam tongkat kekuasaan, namun suara kebenarannya mengguncang mereka yang selama ini duduk nyaman di singgasana kehormatan semu.
Tak berlebihan jika banyak yang mulai menyebutnya: mujadid abad ini—pembaharu sejati yang mengembalikan agama pada nalar, nasab pada fakta, dan kebenaran pada tempatnya yang sahih.
Pembongkar Kepalsuan Berusia Abad-abad
Apa yang ia lakukan bukan sekadar kritik. Ia membedah, menguliti, dan mencampakkan tirai kepalsuan yang selama ini membungkus silsilah-silsilah palsu. Ia mengangkat ke permukaan fakta-fakta yang selama ini dikubur dalam-dalam oleh mereka yang takut pada cahaya. Nasab yang selama lebih dari lima abad dianggap sughroh dan istifadhoh—didekap erat oleh masyarakat sebagai dogma turun-temurun—dibongkar oleh KH Imaduddin dengan pisau ilmu yang tajam dan tak tergoyahkan. Bukan sekadar tajam, tapi mematikan bagi kepalsuan.
Siapa sangka, dalam satu generasi, seorang kyai dari Nusantara mampu membuat langit Tarim bergetar dan tembok-tebal kebohongan historis mulai retak. Ia tidak menggugat dengan emosi, melainkan dengan metode. Ia tidak menghancurkan dengan cacian, tapi dengan hujjah dan data.
Keberanian yang Menyala dari Cahaya Langit
Banyak yang tahu bahwa tabu terbesar dalam masyarakat Muslim Indonesia adalah mengkritik golongan yang menyebut dirinya keturunan Nabi. Tapi KH Imaduddin bukan sekadar berani menyentuhnya. Ia mengangkatnya, menguliti, dan menampilkannya apa adanya—tanpa takut pada stigma, ancaman, bahkan fitnah dari para pelanggeng status quo. Ia menjadi laksana api yang menyala di tengah malam gelap—panas bagi para pemalsu, tapi penerang bagi mereka yang mencari kebenaran.
Para oknum yang biasa mengatur sejarah sesuka hati, memalsukan makam, mendaku darah suci tanpa dasar, tiba-tiba bungkam. Di hadapan KH Imaduddin, mereka kehilangan taring. Ini bukan karena dia punya pasukan. Tapi karena dia punya ilmu yang bernyawa, dan nyawa itu bernama: kebenaran.
Kitab-kitab dari Timur Nusantara
Di usianya yang masih muda, KH Imaduddin telah menulis lebih dari 20 kitab berbahasa Arab—karya asli, bukan hasil kutipan atau saduran. Di era media sosial dan disrupsi digital, menulis satu kitab ilmiah berbahasa Arab saja sudah jadi prestasi. Tapi beliau melampaui itu. Ia menulis seperti para ulama besar dahulu: dengan kejujuran, dengan riset, dan dengan semangat yang membakar zaman.
Tak berlebihan jika para akademisi dan cendekiawan menyebutnya sebagai kilatan cahaya dari timur Nusantara yang akan menyinari dunia Islam modern dengan semangat pembaruan yang otentik.
Kebenaran yang Membuka Langit
Kini, mereka yang menyerangnya—baik dengan nalar setengah matang, narasi populis, atau kedudukan warisan—satu per satu mulai kehilangan legitimasi. Masyarakat mulai melek. Umat mulai cerdas. Umat sudah tahu membedakan mana alim yang jujur dan mana penjaga warisan palsu.
KH Imaduddin tidak hanya mematahkan klaim, tapi mengembalikan izzah umat—bahwa kebenaran tidak diwarisi, tapi diperjuangkan. Bahwa nasab bukan klaim langit, tapi harus diuji di bumi. Bahwa kehormatan bukan pada gelar, tapi pada integritas ilmu.
Mujadid Itu Telah Hadir. Dari Banten, Untuk Dunia
Dalam kesaksian ini, saya tidak hanya melihat seorang ulama. Saya melihat seorang pembaharu zaman—yang datang bukan dengan hingar-bingar, tapi dengan kesunyian yang menampar. Ia datang dari Banten, tapi suaranya telah menembus langit Hijaz. Ia berjalan sendiri, tapi jejaknya kini diikuti oleh ribuan pencari kebenaran.
Zaman ini telah punya mujadid, namanya: KH Imaduddin Utsman al-Bantani.